Your Ad Here

DESENTRALISASI PENDIDIKAN

Posted by shinbe | 5:28 AM | | Comments

Pembicaraan tentang desentralisasi dapat dirunut dari kelahiran Good Goverment. Sebagai sebuah implementasi atas new orthodoxy of democracy (Adrian Leftwich, 1993). Dimana demokrasi menyediakan ruang bagi partisipasi dan terbangunnya institusi-institusi penghubung kelompok Grass Root untuk mempengaruhi dan membangun kebijakan negara sesuai dengan kebutuhan mereka. Menurut pendapat dari Douglas disimpulkan sebagai “Democracy is a way of Penetrating the political systems down to a grass roots level”. Pemerintah yang sebelumnya aktor tunggal di dalam pengelolaan sumberdaya publik, diharuskan untuk bermitra dengan warga negara dan swasta. Semangat ini lah yang melandasi perkembangan Good Goverment tersebut [1].

Desentralisasi dimaknai sebagaimana diutarakan oleh M.Turner dan D. Hulme (1997) adalah transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik atau sesorang atau agen pemerintah pusat kepada beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat kepada publik yang dilayani. Dalam konsepsi ini terdapat dua faktor yang mendasarinya yaitu Teritorial dan Fungsional. Landasan teritorial yang dimaksud adalah menempatkan kewenangan kepada level pemerintahan yang lebih rendah dalam wilayah hirarki yang secara geografis lebih dekat kepada penyedia layanan dan yang dilayani. Sedangkan landasan fungional adalah transfer kewenangan kepada agen secara fungsional terspesialisasi. Lebih lanjutnya lagi dari landasan ini dapat dibagi dalam tiga tipe:
a. Pendelegasian kewenangan masih dalam struktur politik formal, misalnya Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.
b. Jika transfer itu terjadi didalam struktur administrasi publik, misalnya kantor pusat kementrian kepada kantor didaerah.
c. Jika transfer itu tersebut dari institusi negara kepada agen non negara.[2]

Di Indonesia pelaksanaan desentralisasi di wujudkan dalam otonomi. Di mana yang menjadi acuan adalah UU No 22 Tahun 1999 dan di perbaharui dengan UU No 32 Tahun 2004. Otonomi sendiri kemudian berkembang menjadi beberapa pengertian yaitu:
Otonomi luas adalah kekuasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan dengan peraturan perundangan.
Otonomi nyata adalah kekuasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan dibidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan tumbuh, hidup dan berkembang didaerah.
Otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan negara kesatuan.[3]

Alasan dianutnya desentralisasi menurut the liang gie adalah sebagai berikut:
1. Mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang pada akhirnya dapat menimbulkan tirani.
2. Sebagai tindakan pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi.
3. untuk mencapai pemerintahan yang efisien.
4. Supaya perhatian dapat sepenuhnya ditumpahkan kepada kekuasaan sesuatu daerah, seperti geografis, keadaan penduduk, kegiatan ekonomi, watak kebudayaan atau latar belakang sejarahnya.
5. Pemerintah daerah dapat lebih banyak dan secara langsung membantu pembangunan tersebut.[4]

Pendidikan tidak hanya memerlukan langka-langkah teknis dan finansial, tapi lebih-lebih perubahan paradigma dalam tanggungjawab pendidikan. Peran aktif masyarakat atas pendidikan itulah yang kiranya harus menjadi dasar modal bagi demokratisasi pendidikan. Kini sedang di dengung-dengungkan sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pendidikan yang sentralistis tak lagi relevan. Wacana yang berkembang melahirkan pemikiran kebutuhan perubahan dari paradigma sekolah sebagai penanggung jawab pendidikan kepada masyarakat sebagai penanggung jawab pendidikan [5].
Desentralisasi bidang pendidikan ditandai dengan UU No 20 Tahun 2003 yang menggantikan UU No 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal 4 ayat 6 disebutkan “Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan“. Selain itu dalam undang-undang ini juga memberikan kapasitas kepada publik untuk ikut berpartisipasi dan mengelola pendidikan. Serta adanya peluang untuk menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat sebagaimana tertuang dalam pasal 54 dan 55. Peran masyarakat sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. Selanjutnya masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial dan budaya untuk kepentingan masyarakat.

Salah satu kebijakan pendidikan yang muncul mewarnai alam reformasi adalah School Based Manajement atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Sedang di Indonesia dikenal dengan Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Walaupun masih mencari-cari bentuknya sampai saat ini serta masih banyak menuai kritik atas pelaksanaanya. Kebijakan ini merupakan upaya pemerintah dalam rangka pemberdayan masyarakat dalam bidang pendidikan. Adanya pergeseran gaya penentuan keputusan yang sentralistis menjadi terdesentralisasi pada sekolah. Esensinya adalah kewenangan dan kemandirian sekolah untuk mengelola dan mengambil keputusan yang dianggap terbaik bagi kepentingan sekolah serta peserta didik yang dilayaninya dan masyarakat [6].

Alasan dan tujuan diterapkannya di Indonesia dikarenakan beberapa alasan yang mendasarinya antara lain. Pertama, sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya. Kedua, sekolah lebih mengetahui kebutuhannya. Ketiga, keterlibatan warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat menciptakan transparansi dan demokrasi yang sehat [7]. Sementara itu menurut Depdiknas fungsi-fungsi yang dapat didesentralisasikan ke sekolah adalah sebagai berikut:

1. Perencanaan dan evaluasi program sekolah.
2. Pengelolaan Kurikulum.( tidak boleh mengurangi)
3. Pengelolaan Proses Belajar
4. Pengelolaan ketenagaan
5. Pengelolaan peralatan dan perlengkapan
6. Pengelolaan Keuangan
7. Pelayanan Siswa
8. Hubungan sekolah dan masyarakat
9. Pengelolaan Iklim sekolah.

Pelaksanaan MBS dapat berjalan dengan baik apabila seluruh stake holder pendidikan yaitu orang tua, masyarakat, peserta didik, seluruh staf guru, kepala sekolah dan seluruh masyarakat sekitar ikut berperan serta dalam pembinaan sekolah.

Akesesibilitas diartikan bahwa setiap orang tanpa memandang asal-usulnya mempunyai akses atau kesempatan yang sama terhadap pendidikan pada semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan [8]. Selama ini terjadi ketimpangan akses pendidikan yang sangat besar antara desa dengan kota. Dari segi sarana pendidikan dan kualitas pendidikan, desa jauh tertinggal dibanding perkotaan. Beberapa faktor yang menghambat akses pendidikan di Indonesia yaitu [9]:
1 Realisasi anggaran untuk sektor pendidikan yang masih rendah.
2 Biaya pendidikan yang mahal dan komersialisasi pendidikan
3 Faktor kondisi politik dan keamanan yang beberapa tahun terakhir cenderung tidak stabil.
4 Korupsi yang terjadi pada bidang pendidikan
5 Pendidikan kena pajak, dimana pendidikan prasekolah sampai dengan pendidikan tinggi merupakan lapangan usaha kena pajak.
6 Berubahnya lembaga pendidikan menjadi Badan Hukum Milik Negara seperti yang terjadi pada beberapa perguruan tinggi (PT) menyebabkan pendidikan menjadi mahal

[1] Cahyo Suyanto, Gerakan Good Governance “untuk” Indonesia ? dalam Jurnal Analisis Sosial vol.7 No.2 Juni 2002, Demokratisasi dan Kemiskinan, Bandung , AKATIGA, 2002
[2] Di sarikan dari Drs. Teguh Yuwono, M.Pol.Admin; Manajemen Otonomi Daerah,membangun paradigma-paradigma baru. Semarang, CLOGAPPS Diponegoro University, 2001.
[3] Dedy supriyadi B, Ph.D, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Tama, , 2002.
[4] Drs. Josef Riwu Kaho, MPA; Prospek otonomi daerah di negara RI, Jakarta , PT Rajawali Grafindo Persada, , 2002.
[5] Sindhunata, , Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Yogyakarta, Kanisius, 2000
[6] Ade Irawan. Mendagangkan Sekolah, studi kebijakan manajemen berbasis sekolah di DKI Jakarta, Jakarta, ICW, 2004 hal 31
[7] Drs.Nurkolis, MM, Sekolah Berbasis Masyarakat, teori, model, dan aplikasi. Jakarta , PT Gramedia widiasarana, , 2003 hal hal 21
[8] Onny S Prijono, Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi, Jakarta CSIS, , 1996, Hal-75
[9] Nuraeni D, Skripsi: Aksesibilitas Pelayanan Pendidikan Bagi Penduduk Miskin di Era Desentralisasi, Sosiatri, Fisipol UGM. 2004. hal 40