Your Ad Here

latar belakang masalah

Posted by shinbe | 5:28 AM | | Comments

LATAR BELAKANG MASALAH
Pendidikan sebagai salah satu dari mekanisme yang dipercayai dapat memberikan dampak perubahan bagi masyarakat menuju kearah lebih baik. Atas segala permasalahan dan ketertinggalan yang berasal dari internal maupun eksternal setiap individu, komunitas maupun bangsa sekalipun. Begitu dasyatnya persepsi masyarakat akan fungsi pendidikan. Sampai adanya pernyataan “Sekolah biar beruntung”. Tidak hanya sampai pada hal tersebut saja, pendidikan dijadikan sebagai salah satu tujuan besar negara. Selanjutnya di legal formalkan dalam konsitusi, yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 dan Batang Tubuh pada pasal 31 ayat 1 – 5 (amandemen keempat). Tugas, harapan dan tujuan besar negara ini berbunyi “ ... mencerdaskan kehidupan bangsa ...”. Selanjutnya dijabarkan dalam pasal 31 ayat 1 berbunyi “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Sungguh mulia tujuan itu untuk memberikan pendidikan kepada setiap warga tanpa kecuali (education for all). Terlihat begitu kuat dan indahnya untuk mempercayai serta mewujudkan salah satu mekanisme perubahan ini. Kemudian memunculkan sebuah pertanyaan sederhana: sudahkah hal terjadi sampai era zaman ini ?.
Hari Pendidikan di Indonesia diperingati setiap tanggal 2 Mei, diberbagai tempat selalu dipenuhi bentangan spanduk bertuliskan slogan bertema pendidikan dan digelar acara-acara ceremonial. Selaras dengan berjalannya pembangunan setengah abad lebih ini dari tonggak kemerdekaan bangsa atas penjajahan secara fisik. Ternyata pendidikan belum dapat dilaksanakan sesuai dengan amanat konstitusi. Pelaksanaannya belum dapat mencakup seluruh rakyat Indonesia secara adil, masih terdapatnya berbagai bias kepentingan, ketimpangan dan diskriminasi. Kualitas pendidikan pun ditengarai belum memenuhi harapan-harapan yang disandarkan padanya. Sekolah yang ada belum mampu mendidik muridnya untuk menumbuhkan pola berpikir kritis, berkemauan keras untuk maju, inovatif serta kreatif.
Berbicara tentang aspek kuantitas dari pelaksanaan pendidikan tidak dapat lepas dari tinjauan aksesibilitas sekolah oleh masyarakat luas. Pendidikan masih merupakan suatu hal yang susah untuk dinikmati pada era pembangunan ini. Salah satunya tercermin pada angka putus sekolah untuk kategori usia sekolah yang masih cukup besar seperti terlihat pada tabel:

Tabel 1.
Angka Putus Sekolah Dasar dan Menengah
USIA
JUMLAH
7 – 12 tahun
2 juta
13 – 15 tahun
7 juta
Sumber: Harsono, EB; dari Balitbang Depdiknas, Suara Pembaharuan ( 2003/3/7 )

Besarnya angka ini merupakan pencerminan ketidakmampuan masyarakat untuk dapat mengakses pendidikan terutama masyarakat miskin. Besarnya biaya sekolah serta sarana pendukung yang terhitung mahal seperti buku, alat tulis dan transportasi menjadikan suatu beban. Sumbangan-sumbangan, iuran dan seragam sekolah yang dirasa semakin memberatkan. Kemudian dihadapkan pada biaya pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari yang kian sulit. Membuat masyarakat mengutamakan memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya terlebih dahulu dan pemenuhan akan kebutuhan belajar dikesampingkan. Jika tidak maka kebutuhan keseharian mereka akan dipangkas dengan menurunkan kualitasnya guna membiayai pendidikan. Tentu saja hal ini akan berdampak pada beberapa aspek kehidupan masyarakat antara lain kesehatan yang buruk, gizi makanan kurang, pemenuhan pakaian dan papan tidak memadai.
Data Balitbang Depdiknas tahun 2004 berkaitan analisis Biaya Satuan Pendidikan (BSP), orang tua siswa harus mengeluarkan rata-rata biaya untuk anaknya yang bersekolah di SD negeri mencapai Rp.5.967.000,00 untuk SD swasta Rp.7.506.000,00. Sedangkan untuk SLTP negeri sebesar Rp.7.528.000,00 dan SLTP Swasta Rp.7.862.000,00 (Kompas, 11/4/05). Di sisi lain bahwa pendapatan keluarga mengalami penurunan akibat krisis ekonomi, serta bertambahnya angka pengangguran karena PHK. Data prediksi sementara yang didapat dari Menakertrans Jacob Nua Wea kurang lebih 38 juta jiwa penduduk adalah pengangguran (Bali Post,12/8/2003). Hal ini kian menyulitkan masyarakat ekonomi bawah untuk mengakses pendidikan.
Kondisi akses pendidikan yang sulit ini juga diikuti oleh ketidaklayakan sarana infrastruktur pendidikan yang ada. Banyak gedung-gedung sekolah yang tidak layak pakai serta rentan untuk ambruk setiap saat, sekitar 50 persen gedung sekolah memerlukan perbaikan (kompas,4/27/05). Dari segi kelengkapan ruangan maupun fasilitas pendukung kegiatan belajar mengajar pun dirasa masih minim, seperti sarana laboratorium, komputer, perpustakaan dan lain-lainya.

Tabel. 2
Ruang kelas Rusak
Sekolah
Jumlah Ruang
Jumlah Ruang Rusak
SD
801.216
168.655
SLTP/SMU
184.707
29.552
Sumber: Harsono, dari Balibang Depdiknas; Suara Pembaharuan ( 2003/3/7)

Berbicara tentang kualitas pendidikan secara makro di Indonesia juga tidak terlalu menggemberikan walaupun juga terdapat pelajar yang memenangkan nobel. Sebagai bangsa yang menyongsong kemajuan iptek yang amat pesat, kita masih harus berkutat dengan kualitas pendidikan. Terlepas dari perdebatan kesahihan standar kualitas dalam Ujian Nasional. Hasil yang diperoleh pada tingkat SLTP/MTs menunjukkan hanya 24,12 % pada kategori “sedang” keatas. Hanya 0,03 % yang tergolong baik sekali dan 2,14 % termasuk baik [1].Mengacu pada nilai Ebtanas sebagai salah satu indikator cerminan kualitas pendidikan, selama lima tahun terakhir nilai rata-rata nasional lulusan SLTP yaitu 5,46 dan itu dikategorikan “merah”. Menurut analisis Sri Redjeki (1997) sebagai contoh ditemukan isi buku-buku teks biologi SD – SLTA di Indonesia tertinggal 50 tahun, begitu pula dengan geografi yang disajikan telah usang.
[2]
Hasil studi International Educational Echievement (EIA) menunjukkan kemampuan membaca siswa SD di Indonesia berada pada urutan ke-38 dari 39 negara diteliti. Sementara penelitian the Third International Mathematics and Science Study Repeat tahun 1999 menunjukkan kemampuan siswa SLTP di bidang ilmu pengetahuan alam diurutan ke-32 dan untuk matematika di posisi ke-34 dari 38 negara yang diteliti diseluruh dunia ( Harsono, 2003 ).
Rendahnya kualitas pendidikan itu mempengaruhi rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Menurut HDR 2002 (Human Development Report) yang dikeluarkan oleh UNDP Indonesia menduduki urutan 110 dari 173 negara. Posisi ini jauh dibawah negara-negara ASEAN, misalnya Singapura (25), Brunei Darussalam (32), Malaysia (59), Thailand (70), Vietnam (109) dan naasnya lagi pada tahun 2003 turun pada peringkat 112.
Kondisi ini masih diperparah terhadap politic wiil pemerintah yang rendah untuk benar-benar memperhatikan masalah pendidikan. Pendanaan pendidikan yang ditetapkan 20 persen baik untuk APBN/APBD ternyata tidak terealisasi dengan fakta bahwa pendanaan tertinggi yang ada sebesar 10 % di Kota Tarakan Kalimantan Timur, sedang secara nasional dengan rata-rata sebesar 3,4 % (Kompas, 4/3/2004 ).
Boleh jadi ungkapan “Sekolah biar beruntung“ benar-benar berubah menjadi “Sekolah bagi yang beruntung“ atau lebih ekstrimnya lagi “Sekolah bisa Buntung”. Tentunya hal ini tidaklah menjadi harapan dari dunia pendidikan Indonesia. Fenomena ini harus segera disikapi agar tidak menjadi sebuah permasalahan yang kronis. Segala usaha dan solusi harus segera dipikirkan serta dilaksanakan dengan tujuan yang baik tentu saja. Berlatar belakang atas gambaran diatas, itulah beberapa alasan dilakukannya penelitian ini. Dengan ketertarikan pada usaha-usaha mandiri masyarakat untuk keluar dari lingkaran yang membelenggu selama ini.
[1] Irwanto, Mau kemana Pendidikan Dasar kita?, Kompas 12/05/05
[2] Ibid.