Kelima akar filosofis tersebut kemudian melahirkan ragam paradigma sesuai dengan yang dikemukakan oleh William F.O’neil dalam Mansour Fakih (2002), bukunya ideologi-ideologi pendidikan. Menjadi tiga kelompok besar yaitu paradigma pendidikan Konservatif, Liberal dan Kritis [1]. Dimana secara singkat dapat di uraikan sebagai berikut :
1. Paradigma Pendidikan Konservatif (Tradisional)
Merupakan penganut aliran filsafat perenialis dan esensialis yang bernuansa fatalistik serta anti perubahan. Menempatkan posisi manusia dalam keadaan pasif. Bahwa manusia berada di dunia hanya menjalankan perintah Tuhan. Segala sesuatu keadaan dan kejadian merupakan kehendak-Nya, manusia tinggalkan menjalankannya. Pendidikan konservatif hanya sebatas perwujudan dari ketidaksadaran manusia dalam menjalani hidupnya.
2. Paradigma Pendidikan Liberal.
Mendasarkan pada modernitas dan kebebasan individu. Paradigma ini termasuk dalam aliran filsafat Progresif dan Eksistensialis. Dengan ciri rasionalitas empiris dengan nuansa posivistik. Yang dipelopori oleh rasionalisme Descartes dimana sangat mengedepankan kuasa akal pikiran manusia. Namun sekali lagi, paradigma pendidikan liberal meskipun mengakui keberadaan nilai-nilai transenden tetapi cenderung meninggalkannya. Manusia kembali terjerambab dalam problem eksistensialisnya.
3. Paradigma Pendidikan Kritis.
Paradigma ini berkiblat pada aliran filsafat Eksistensialisme, Rekonstruksionalisme dan progresifme. Merupakan antitesis dari arus modernitas yang dipandang justru telah menghilangkan nilai-nilai humanitas. Dalam pandangan pendidikan kritis, setiap dominasi peran yang mengakibatkan penindasan itu tidak bisa ditolelir. Sebab bagaimana pun yang namanya penindasan adalah tidak manusiawi. Bertentangan dengan fitrah manusia pada lazimnya. Oleh karena itu penindasan merupakan musuh utama dalam pendidikan kritis.
Tokoh besar dalam aliran paradigma pendidikan kritis salah satunya adalah Paulo Freire yang berusaha untuk memberikan sebuah pemikiran baru untuk pendidikan kaum tertindas. Dikatakan bahwa kaum tertindas dapat mengatasi kontradiksi dimana mereka terjebak hanya jika pengetahuan itu mendorong mereka berjuang membebaskan diri. Pendidikan kaum tertindas, sebagai pendidikan para humanis dan pembebas terdiri dari dua tahap: Pertama, kaum tertindas membuka tabir dunia penindasan dan melalui praksis melibatkan diri untuk mengadakan perubahan. Kedua, dimana realitas penindasan itu sudah berubah, pendidikan ini tidak lagi menjadi milik kaum tertindas tetapi menjadi pendidikan untuk seluruh manusia dalam proses kebebasan yang langgeng [2]. Lawan dari pendidikan yang membelenggu menurut Freire adalah pendidikan yang membebaskan. Pendidikan yang membelenggu ditandai dengan terjadinya pemberian perintah dan transfer pengetahuan. Sedangkan lawannya adalah adanya transaksi dialogis dan transformasional, yakni proses pendidikan yang mempunyai makna dalam kehidupan[3].
Pendidikan secara luas dan umum sebagai usaha sadar yang dilakukan oleh pendidik melalui bimbingan, pengajaran dan latihan untuk membantu peserta didik mengalami proses pemanusian diri kearah tercapainya pribadi yang dewasa-susila[4]. Selain itu pendidikan adalah proses hominisasi (menjadikan seseorang sebagai manusia) dan humanisasi (pengembangan kemanusiaan manusia [5].
Lebih lanjut dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Konsepsi UNESCO tentang pembelajaran anak yaitu Learning to Know, Learning to Do, Learning to Live Together and Learning to Be [6].
Pendidikan rakyat dalam tahapan pengembangannya dapat dikelompokkan dalam tiga tahapan sesuai dengan pendapat Saban JMT Simatupang (2001):
1.Pengembangan sikap, rakyat diajak menggali dan menghargai pengalamannya, memahami realitas, pemahaman diri. Dibangkitkannya kreasi untuk mengubah realitas sesuai dengan harapannya.
2.Pengembangan Ketrampilan, rakyat dimampukan untuk terampil pertama-tama menganalisis situasi ketertindasan yang dialaminya (analisis sosial). Kemudian adalah tindak lanjut atas jawaban terhadap segudang pertanyaan analisis tadi.
3.Pengembangan Pengetahuan, rakyat dimampukan mengembangkan pengetahuan sehubungan dengan upaya-upaya memperkuat dirinya.[7]
Lingkungan memberi kontribusi dalam pendidikan anak baik sekolah maupun luar sekolah. Komponen itu: keluarga, sekolah, masyarakat, daerah dan geografisnya, teknologi dan masyarakat globalnya. Penyelenggaraan pendidikan yang cenderung ke arah hasil baik antara lain diukur dari:
1. Pendidikan dirasa berguna bagi kepentingan anak.
2. Nyaman bagi anak
3. Muatan tranformatif bagi kehidupan anak baik individu maupun sosial
4. Manusiawi. [8]
Lingkungan masyarakatnyapun memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap sekolah. Hubungan sekolah dengan komunitas bersifat resiprocal (saling timbal balik) diantara keduanya. Sesuai pendapat Nelson B Henry sebagai berikut:
“ Every School is established and maintained by and for the community. It is part of network of many social institutions and relationship. As a part of the total community it is influenced by changes in rural life and in turn influences various aspects of community life. The realition of the school to the comunity is reciprocal one “ [9].
Selain itu siswa harus memiliki ketrampilan yang dapat benar-benar dihandalakan. Kompetensi yang dimiliki paling tidak harus mampu untuk mewujudkan keinginan warga atas apa yang mereka jalani setiap harinya. Menurut Djhohar (2003) salah satu panduan untuk menentukan kompetensi adalah: [10]
Karakteristik anak dan Situasi lingkungan
Situasi Sosial – budaya Masyarakat
Tingkat perkembangan Iptek
[1] Ibid.
[2] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Jakarta, LP3ES, 1991 hal 27
[3] Prof.Dr. H. Djohar,MS. Pendidikan Strategik, alternative untuk pendidikan masa depan. Yogyakarta. LESFI. 2003. hal 7
[4] Dr, J Sudarminta, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta, IKIP Sanata Dharma 1990, hal 12
[5] Porf. Dr N Driyahara,. Tentang Pendidikan, Yogyakarta, Kanisius, 1980, Hal 87
[6] UNESCO ( Delors dkk), Belajar: harta karun didalamnya, terjemahan dari “ learning: the Treasure within “ 1999
[7] Arthur J Horoni, Gerakan Rakyat, merambat karena dihambat, Jakarta, URM, 2001 hal 40 -41
[8] Djohar. Op.cit. hal.
[9] Nelson B Henry, Education in Rural communities, University of Chicago Press, Illionis, 1952.
[10] Djohar. Op.cit. hal. 49
kelompok besar paradigma pendidikan
Posted by shinbe | 5:28 AM | proposal skripsi agus |kelompok besar paradigma pendidikan
2008-06-25T05:28:00+07:00
shinbe
proposal skripsi agus|
Comments
kelompok besar paradigma pendidikan
2008-06-25T05:28:00+07:00
shinbe
proposal skripsi agus|
Subscribe to:
Post Comments (Atom)