Inilah ideologi paling lama dianut manusia, mungkin sejak zaman purba, yakni tentang bagaimana seseorang dapat disebut ‘normal’. Definisi sederhana ‘orang normal’ adalah bila orang mempunyai organ tubuh lengkap dan berfungsi dengan baik, dia harus mempunyai kepala, kaki/tangan dan organ lain layaknya seorang manusia. Kaki bisa digunakan untuk berlari, tangan untuk memegang atau menulis, mata untuk melihat, mulut untuk berbicara, telinga untuk mendengar dan lain sebagainya. Inilah yang selanjutnya disebut sebagai ‘ideologi kenormalan’ (Nugroho, 2004:127).
Ketika seseorang mengalami ketidakfungsian, kehilangan salah satu atau lebih organ yang dimilikinya, maka ia akan disebut sebagai seorang yang “tidak normal”, seorang yang ‘tidak sempurna’ atau istilah yang sering digunakan selama ini adalah”cacat”. Kesempurnaan organ tubuh dan berfungsi sebagaimana mestinya adalah syarat yang tidak dapat ditawar, agar diri dapat dikatakan gagah, perkasa, gentle, seksi, menawan dan sebagainya.
Lalu bagaimana ‘ideologi kenormalan’ yang menganut paham ‘kesempurnaan’ organ tubuh dan berfungsi dengan baik ini sampai mengakar sedemikian kuat dalam benak manusia sampai sekarang? Karena cara pandang seperti itu sudah terlanjur terkontruksi ketika melihat orang mengalami kelayuhan pada kakinya, misalnya, maka yang orang tersebut bukanlah orang yang bisa dianggap gagah, menawan, bahkan bisa jadi penilaiannya justru terbalik bahwa orang yang mengalami layuh kaki bukanlah sosok yang menarik.
Setampan atau secantik rupa seseorang tidaklah cukup untuk menarik simpati orang lain bila salah satu kakinya ternyata buntung. Secerdas apapun orang yang duduk di kursi roda, belum tentu suatu institusi pendidikan mau mengangkatnya sebagai dosen. Pendek kata, seorang yang lahir tanpa jari-jari yang lengkap, sudah cukup bagi orang lain menganggapnya cacat, meski ia mempunyai kelengkapan organ lain yang berfungsi dengan baik. Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa ‘kelengkapan’ dan berfungsinya organ yang dimiliki manusia, menjadi indikator penting untuk dinilai apakah ia akan masuk dalam kategori ‘orang normal’ atau orang ‘cacat’.
Orang ‘normal’ menjadi sedemikian arogan ketika berhadapan dengan orang cacat karena mereka selalu merasa lebih mampu, lebih kuat, lebih pintar, dan sebagainya. Arogansi kenormalan juga memunculkan asumsi-asumsi yang biasanya lebih cenderung negatif terhadap orang ‘cacat’, biasanya asumsi yang muncul berhubungan dengan kelemahan, ketidakmampuan, ketidakberdayaan atau ketergantungan orang cacat pada pihak lain, karena fokusnya hanya pada organ yang tidak utuh atau tidak berfungsi (Nugroho, 2004:128).
Jangankan orang biasa/masyarakat umum yang menstigma negatif para penyandang cacat, pejabat pemerintahan, pemimpin suatu perusahaan, pemimpin suatu institusi pendidikan pun masih banyak menerapkan ideologi kenormalan dalam setiap mengambil dan menerapkan suatu kebijakan, misalnya syarat untuk menjadi seorang dosen atau anggota MPR/DPR, karyawan di suatu perusahaan adalah sehat jasmani dan rohani. Yang dimaksud sehat jasmani di sini tak lain adalah keutuhan organ tubuh yang bisa berfungsi secara normal sebagaimana mestinya.
Asumsi lain yang lebih dekat dengan kecacatan adalah masalah psikologis yang biasanya berhubungan pada tingkat emosional penyandang cacat, seperti temperamen tinggi, mudah tersinggung, kehilangan kepercayaan diri dan sulit berinteraksi dengan masyarakat luas. Oleh sebab itu, banyak orang merasa kesulitan, takut atau tidak tahu bagaimana harus memulai mengenal dan berinteraksi lebih dekat dengan penyandang cacat.
Asumsi-asumsi di atas mungkin merupakan sesuatu yang wajar, bila saja tidak ada hal-hal yang tersembunyi, yakni tentang prasangka-prasangka negatif terhadap penyandang cacat tubuh. Coba bandingkan bagaimana cara ‘orang normal’ menilai ‘orang normal’ lainnya, hampir tidak ada prasangka awal, karena sama-sama merasa ‘normal’. Inilah yang membedakan serta membuktikan bahwa ideologi kenormalan melekat pada sikap dan perlakuan terhadap ‘orang cacat’ dan ‘orang normal’. Sementara itu, bukankah sifat temperamen tinggi, tidak mudah bergaul, minder, kurang percaya diri juga bisa melekat pada ‘orang normal’ juga? Barangkali sangatlah tidak adil jika nilai orang cacat hanya dilihat kondisi fisiknya tanpa melihat variabel penting lainnya, seperti kemampuan/kapasitas yang dimiliki, hati nurani, serta mentalitas yang melekat dalam diri seseorang.
Sementara pada aspek psikologis, ada korelasi yang signifikan antara penglihatan dan pengaruh perasaan seseorang. Ketika melihat sesuatu yang lucu, orang akan riang dengan mengekspresikan diri lewat tertawa. Melihat kejadian menyedihkan, orang akan terharu sambil meneteskan air mata, ketika suatu saat melihat seseorang dengan kaki lumpuh atau tangan buntung, orang akan merasa iba, prihatin dan memunculkan komentar ”.....kasihan ya jalannya harus terseok-seok...” atau “....ah, sayang sekali ya cakep-cakep kok tidak punya tangan...”
Kata cacat atau kecacatan memang penuh dengan stigma-stigma negatif, itulah sebabnya banyak orang tidak cukup siap menerima kehadiran seorang penyandang cacat atau menjadi seorang penyandang cacat. Meski sebenarnya, suka tidak suka, sadar atau tidak, semua orang berpotensi menjadi cacat oleh berbagai akibat, maupun ketika dikaruniai umur panjang.
Dampak dari penilaian diri yang negatif terhadap penyandang cacat tubuh akan mengakibatkan munculnya justifikasi diri sebagai seorang yang lemah, tidak berdaya, tidak berguna tidak punya harapan tentang masa depan maupun perasaan lain yang berimbas pada sikap-sikap yang tidak menguntungkan bagi diri sendiri. Tindakan paling banyak dilakukan oleh seorang penyandang cacat tubuh dengan kondisi psikologis seperti itu adalah dengan mengucilkan diri karena dipengaruhi oleh rasa malu serta rasa rendah diri yang kuat. Hal ini mengakibatkan mereka enggan dan jarang keluar rumah untuk bergaul.
Ketika seseorang mengalami ketidakfungsian, kehilangan salah satu atau lebih organ yang dimilikinya, maka ia akan disebut sebagai seorang yang “tidak normal”, seorang yang ‘tidak sempurna’ atau istilah yang sering digunakan selama ini adalah”cacat”. Kesempurnaan organ tubuh dan berfungsi sebagaimana mestinya adalah syarat yang tidak dapat ditawar, agar diri dapat dikatakan gagah, perkasa, gentle, seksi, menawan dan sebagainya.
Lalu bagaimana ‘ideologi kenormalan’ yang menganut paham ‘kesempurnaan’ organ tubuh dan berfungsi dengan baik ini sampai mengakar sedemikian kuat dalam benak manusia sampai sekarang? Karena cara pandang seperti itu sudah terlanjur terkontruksi ketika melihat orang mengalami kelayuhan pada kakinya, misalnya, maka yang orang tersebut bukanlah orang yang bisa dianggap gagah, menawan, bahkan bisa jadi penilaiannya justru terbalik bahwa orang yang mengalami layuh kaki bukanlah sosok yang menarik.
Setampan atau secantik rupa seseorang tidaklah cukup untuk menarik simpati orang lain bila salah satu kakinya ternyata buntung. Secerdas apapun orang yang duduk di kursi roda, belum tentu suatu institusi pendidikan mau mengangkatnya sebagai dosen. Pendek kata, seorang yang lahir tanpa jari-jari yang lengkap, sudah cukup bagi orang lain menganggapnya cacat, meski ia mempunyai kelengkapan organ lain yang berfungsi dengan baik. Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa ‘kelengkapan’ dan berfungsinya organ yang dimiliki manusia, menjadi indikator penting untuk dinilai apakah ia akan masuk dalam kategori ‘orang normal’ atau orang ‘cacat’.
Orang ‘normal’ menjadi sedemikian arogan ketika berhadapan dengan orang cacat karena mereka selalu merasa lebih mampu, lebih kuat, lebih pintar, dan sebagainya. Arogansi kenormalan juga memunculkan asumsi-asumsi yang biasanya lebih cenderung negatif terhadap orang ‘cacat’, biasanya asumsi yang muncul berhubungan dengan kelemahan, ketidakmampuan, ketidakberdayaan atau ketergantungan orang cacat pada pihak lain, karena fokusnya hanya pada organ yang tidak utuh atau tidak berfungsi (Nugroho, 2004:128).
Jangankan orang biasa/masyarakat umum yang menstigma negatif para penyandang cacat, pejabat pemerintahan, pemimpin suatu perusahaan, pemimpin suatu institusi pendidikan pun masih banyak menerapkan ideologi kenormalan dalam setiap mengambil dan menerapkan suatu kebijakan, misalnya syarat untuk menjadi seorang dosen atau anggota MPR/DPR, karyawan di suatu perusahaan adalah sehat jasmani dan rohani. Yang dimaksud sehat jasmani di sini tak lain adalah keutuhan organ tubuh yang bisa berfungsi secara normal sebagaimana mestinya.
Asumsi lain yang lebih dekat dengan kecacatan adalah masalah psikologis yang biasanya berhubungan pada tingkat emosional penyandang cacat, seperti temperamen tinggi, mudah tersinggung, kehilangan kepercayaan diri dan sulit berinteraksi dengan masyarakat luas. Oleh sebab itu, banyak orang merasa kesulitan, takut atau tidak tahu bagaimana harus memulai mengenal dan berinteraksi lebih dekat dengan penyandang cacat.
Asumsi-asumsi di atas mungkin merupakan sesuatu yang wajar, bila saja tidak ada hal-hal yang tersembunyi, yakni tentang prasangka-prasangka negatif terhadap penyandang cacat tubuh. Coba bandingkan bagaimana cara ‘orang normal’ menilai ‘orang normal’ lainnya, hampir tidak ada prasangka awal, karena sama-sama merasa ‘normal’. Inilah yang membedakan serta membuktikan bahwa ideologi kenormalan melekat pada sikap dan perlakuan terhadap ‘orang cacat’ dan ‘orang normal’. Sementara itu, bukankah sifat temperamen tinggi, tidak mudah bergaul, minder, kurang percaya diri juga bisa melekat pada ‘orang normal’ juga? Barangkali sangatlah tidak adil jika nilai orang cacat hanya dilihat kondisi fisiknya tanpa melihat variabel penting lainnya, seperti kemampuan/kapasitas yang dimiliki, hati nurani, serta mentalitas yang melekat dalam diri seseorang.
Sementara pada aspek psikologis, ada korelasi yang signifikan antara penglihatan dan pengaruh perasaan seseorang. Ketika melihat sesuatu yang lucu, orang akan riang dengan mengekspresikan diri lewat tertawa. Melihat kejadian menyedihkan, orang akan terharu sambil meneteskan air mata, ketika suatu saat melihat seseorang dengan kaki lumpuh atau tangan buntung, orang akan merasa iba, prihatin dan memunculkan komentar ”.....kasihan ya jalannya harus terseok-seok...” atau “....ah, sayang sekali ya cakep-cakep kok tidak punya tangan...”
Kata cacat atau kecacatan memang penuh dengan stigma-stigma negatif, itulah sebabnya banyak orang tidak cukup siap menerima kehadiran seorang penyandang cacat atau menjadi seorang penyandang cacat. Meski sebenarnya, suka tidak suka, sadar atau tidak, semua orang berpotensi menjadi cacat oleh berbagai akibat, maupun ketika dikaruniai umur panjang.
Dampak dari penilaian diri yang negatif terhadap penyandang cacat tubuh akan mengakibatkan munculnya justifikasi diri sebagai seorang yang lemah, tidak berdaya, tidak berguna tidak punya harapan tentang masa depan maupun perasaan lain yang berimbas pada sikap-sikap yang tidak menguntungkan bagi diri sendiri. Tindakan paling banyak dilakukan oleh seorang penyandang cacat tubuh dengan kondisi psikologis seperti itu adalah dengan mengucilkan diri karena dipengaruhi oleh rasa malu serta rasa rendah diri yang kuat. Hal ini mengakibatkan mereka enggan dan jarang keluar rumah untuk bergaul.